Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Awas, Obesitas Digital Mengintai Kita

Di era revolusi industri 4.0 yang dikenal dengan revolusi digital, mampu mengambil sebagian besar aktivitas perekonomian dan masyarakat  mengalami kejutan budaya (culture shock) dalam hal ini budaya digital. Tren ini mengubah banyak bidang kehidupan manusia, termasuk dunia kerja dan gaya hidup. Semua informasi dapat diperoleh dengan real-time dan cepat dimana saja dan kapan saja. Revolusi digital merupakan perubahan dari teknologi mekanik dan elektronik analog ke teknologi digital yang telah terjadi sejak tahun 1980 dan berlanjut sampai hari ini. Revolusi itu pada awalnya mungkin dipicu oleh sebuah generasi remaja yang lahir pada tahun 80-an. 


Menurut Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) Muhammad Arif, saat Indonesia Digital Outlook 2022, di The Westin, Jakarta, kini kurang lebih 77 persen penduduk Indonesia sudah menggunakan internet.  Sebelum pandemi jumlah pengguna internet di Indonesia hanya beerkisar175 juta, namun angka per Juni 2022 jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai 210 juta user, ini artinya ada penambahan sekitar 35 juta pengguna internet di Indonesia. Bertambahnya jumlah pengguna internet Indonesia selaras dengan makin banyaknya penyedia ISP (internet service provider) di Indonesia. Sekadar informasi, saat ini jumlah ISP di Indonesia mencapai 780-an perusahaan dan ada lebih dari 2.800 pemilik IP address di Indonesia

Kemajuan teknologi digital tentu memberikan dampak positif dan negatif terhadap pembiasaan kita, terutama generasi milenial dan generasi Z. Penyimpan data di otak kita akan dipenuhi dengan berbagai informasi yang kita search di mesin pencari dan aplikasi lainnya sepanjang hari. Sebenarnya, kita tidak sedang mencari informasi melainkan sebaliknya informasilah yang selalu menghampiri kita. Itulah kemudahan sekaligus masalah yang terkandung dalam teknologi digital. Dampak positifnya bisa mempercepat komunikasi dan mempermudah  pekerjaan. Lantas apa dampak negatif dari adanya teknologi digital? Jawabannya tentu akan mengurangi aktivitas bergerak atau “obesitas digital”, mudah terpengaruh pada informasi yang tidak akurat (hoaks), cenderung anti sosial, dan kecanduan digital.  

Obesitas Digital. 

Menurut Futuris Gerd Leonhard di sebuah forum yang diselenggarakan oleh Asosiasi Pendidikan Turki (dalam https://health.grid.id/read/353341506/obesitas-digital-julukan-baru-untuk-mereka-yang-terpaku-pada-gadget), obesitas digital pada dasarnya adalah tentang makan berlebihan (informasi), tidak cukup istirahat. Ini pada dasarnya sama dengan terus menerus makan, tidak pernah melakukan hal lain. Futuris yang berbasis di Zurich itu mengatakan orang-orang menjadi padat, gemuk, dan sekarat karena terlalu banyak mengonsumsi informasi non filtrasi melalui media sosial sepanjang waktu, dan mereka tidak menyadari bagaimana hal ini menyebabkan bahaya bagi kehidupan mereka secara umum. Tumpukan informasi tak berguna di otak kita menghadirkan kekacauan berpikir, menghilangkan fokus dan akhirnya membuat kita tidak bisa mempercayai apapun. Maka jangan heran bila terjadi kasus bunuh diri karena per-bully-an melalui internet. Ini menunjukkan kepada kita bahwa perlahan tapi pasti anak generasi mendatang atau generasi app (istilah untuk aplikasi di android) akan memperlakukan internet sebagai realitas utama.  

Informasi itu ibarat camilan, enak untuk dinikmati tapi belum tentu penting bagi tubuh kita. Aneka ragam informasi seperti hiburan, kabar berita, perkembangan sains, opini politik hingga ujaran kebencian dan hoaks setiap saat menjadi konsumsi kita setiap harinya, sehingga membuat kita kecanduan informasi. Kecanduan informasi itu seperti ketagihan ngopi atau alkohol, sehingga mengalami obesitas informasi. Dikatakan obesitas karena timbunan informasi yang kita nikmati setiap saat tidak bermakna bagi hidup, bahkan menghadirkan perilaku buruk dalam keseharian kita. Sama seperti makanan, semakin banyak kita makan belum tentu semakin sehat.  Jika yang kita makan lebih dominan memenuhi hawa nafsu, bukan sekedar memenuhi kebutuhan energi, maka kita akan mudah terkena obesitas. 

Pengobatan kecanduan digital. 

Kecanduan digital merupakan sebuah perilaku yang menyebabkan keterikatan atau ketergantungan pada teknologi yang memiliki dampak negatif terhadap individu. Dampak fisik terjadi gangguan mata, sakit leher, bahu atau bagian tubuh lainnya. Jika sudah parah bisa terjadi infeksi otak karena radiasi, infeksi sendi, infeksi karena bakteri coli yang ada pada layar serta kurang tidur. 

Sedangkan dampak psikis kecanduan digital menjadikan seseorang mudah marah dan panik serta mengalami FOMO (Fear of Missing Out) yaitu ketakutan akan ketinggalan berita-berita terkini di sosial media maupun ketinggalan update sesuatu yang terbaru. Pecandu digital juga akan terlilit stres, sulit konsentrasi, cemas berlebihan, merasa kesepian karena waktunya habis di depan layar gadget. 

Kecanduan digital tentunya perlu direhabilitasi. Lantas bagaimana cara mengurangi risiko kecanduan digital? Sederhana saja, matikan notifikasi semua aplikasi, hapus aplikasi yang menyebabkan candu, matikan internet sementara waktu, simpan gadget di tas saat bepergian, lakukan kegiatan yang menyenangkan, ingat dampak penggunaan digital, singkirkan HP saat makan serta jangan bermain gadget saat akan tidur.

Penangkal hoaks. 

Kita biasanya menelan beragam informasi yang disuguhkan secara instan tanpa proses penyaringan terhadap kebenaran dan keakuratan informasi tersebut. Lebih kacau lagi, kita akan terjerumus dalam berbagai "kepentingan" dari informasi yang ditawarkan karena kita kesulitan dalam membuat anlisis terhadap realitas sesungguhnya yang terjadi. Kita kesulitan menemukan kenyataan akibat kerancuan informasi dan proses analisis yang minim terhadap berjuta informasi. Mesin jaringan informasi saja mengalami kesulitan mengatur trafic data, apalagi pada kita pembaca yang sering juga melibatkan intuisi dan perasaan dalam mengonsumsi informasi. Kita harus berani berpantang terhadap informasi. Maksudnya di sini adalah agar tidak hanya mencari informasi sesuai selera dan kemauan kepentingan kita lalu kita mengesampingkan keakuratan faktual terhadapnya. 

Menurut Douglas A.J., untuk menangkal dan mengantisipasi hoaks di media sosial diperlukan peran literasi digital. Elemen penting dalam memahami literasi digital diantaranya adalah kognitif (meluaskan pikiran) dan critical (kritis menyikapi konten).  Tidak jarang kita mengonsumsi berita hoaks, padahal informasi tersebut masih bersifat sementara dan momentual. Namun, kita harus akui bahwa kita langsung menjadikannya sebagai informasi final. 

Terakhir, pesan untuk kita semua, bijaklah dalam menggunakan media internet karena tatanan kemasyarakatan saat ini tidak bisa dilepaskan dari literasi internet. Apalagi masyarakat dengan literasi media dan internet yang rendah di jaman ini akan menjadi korban penindasan, eksploitasi dan penjajahan gaya baru. Namun yang penting, hindari konsumsi informasi yang berlebihan supaya tidak menderita obesitas informasi atau obesitas digital. Salam literasi. (ferifodic78@gmail.com)

Penulis Feri Irawan, S.Si.,M.Pd

Kepala SMK Negeri 1 Jeunieb 


Opini ini telah tayang di https://www.ajnn.net/news/awas-obesitas-digital-mengintai-kita/index.html tanggal 20 November 2022

Posting Komentar untuk "Awas, Obesitas Digital Mengintai Kita"