Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Opini: Sudah Tepatkah Program P5 di Sekolah?


Oleh Feri Irawan, S.Si.,M.Pd


Salah satu yang dirasa baru dan membedakan kegiatan dengan kurikulum sebelumnya (K13) adalah kegiatan projek penguatan profil pelajar Pancasila (P5). P5 adalah upaya untuk mewujudkan Pelajar Pancasila yang mampu berperilaku sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, yaitu beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berkebhinekaan global, gotong royong, mandiri, bernalar kritis, dan kreatif. P5 menjadi istimewa karena penerapannya tidak terintegrasi dalam pembelajaran setiap mata pelajaran melainkan mempunyai porsi khusus dalam setiap alokasi jam mata pelajaran yang membuat peserta didik memiliki kesempatan untuk dapat mengembangkan kompetensi pengetahuan, keterampilan dan sikap mereka dengan belajar dari teman mereka, guru, bahkan sampai pada tokoh masyarakat sekitar. P5 adalah pembelajaran lintas disiplin ilmu untuk mengamati dan memikirkan solusi terhadap permasalahan dalam menganalisis isu-isu hangat yang terjadi di lingkungan sekitar. P5 menggunakan pendekatan pembelajaran berbasis projek (project-based learning) yang berbeda dengan pembelajaran berbasis proyek dalam program intrakurikuler di dalam kelas.  

Namun kenyataannya, konsep P5 dalam Kurikulum Merdeka dipahami secara keliru oleh sebagian pihak sekolah. P5 yang dipahami saat ini oleh pihak sekolah adalah siswa harus membuat produk atau karya. Ini yang terkadang terjadi miskonsepsi dalam penerapan P5 di sekolah yang hanya berfokus pada hasil ataupun produk akhir dari setiap kegiatan P5.  Padahal, terpenting adalah pencapaian kompetensi melalui proses setiap peserta didik dalam kegiatan P5. Nyatanya selama ini, puncak dari P5 identik dilaksanakan dengan kegiatan panen karya  yang  membebani siswa untuk membuat produk yang ditentukan guru,  membuat panggung, memakai baju adat dan lain-lainnya sehingga mengeluarkan anggaran besar. Jika ini terjadi, justru kontradiksi dengan  tujuan awal P5 untuk memerdekakan siswa malah justru terlihat "menjajah siswa".

Sebenarnya bukan seperti itu konsep dari P5. Konsepnya sebenarnya sangatlah sederhana.   Yang  terpenting dari konsep P5 adalah bagaimana siswa bisa memiliki karakter Pancasila dengan melakukan kegiatan sehari-hari yang berdampak pada masyarakat, bukan pasang tenda besar pakai baju adat atau hal-hal lain yang memberatkan siswa. Beberapa konsep P5, diantaranya siswa dapat memahami kebutuhan kompetensinya, siswa merdeka berinkuiri untuk memahami konsep, siswa dapat memilih tantangan dari tema projek, dan siswa dapat memberdayakan konteks sekitar untuk P5 yang berdampak pada lingkungan. 

Contoh Penerapan P5

Berikut merupakan tiga contoh penerapan P5 dalam pembelajaran. Perlu ditekankan bahwa projek tersebut dapat dilandasi  studi kasus dan studi lapangan yang dilakukan oleh peserta didik. Proses tersebutlah yang dapat memberikan kepekaan mereka terhadap berbagai isu sosial yang terjadi di masyarakat.

1. Projek pemberdayaan lingkungan dan bebas sampah

Akhir-akhir ini, di Kecamatan Jeunieb, Bireuen, Aceh, sering terjadi banjir  karena luapan air sungai. Kemudian Pak Hermansyah sebagai guru  di SMKN 1 Jeunieb menyarankan tema Gaya Hidup Berkelanjutan dengan topik “bebas sampah” sebagai tema P5. Selanjutnya pada projek ini siswa belajar tentang penyebab banjir, lalu menyelidiki penyebab meluapnya air sungai. Ternyata salah satu sebabnya akibat ulah manusia sendiri. Sering kali manusia tanpa sadar melakukan kelalaian buang sampah sembarangan yang berdampak menyumbat drainase, hingga mengurangi kapasitas sungai. Namun sayangnya, peraturan buang sampah masih banyak dilanggar. Siswa dan sekolah sepakat membuat aksi membersihkan sungai. Guru kemudian mengajak warga dan unsur kecamatan untuk ikut bersama-sama melakukan aksi pembersihan sungai. Setelah pembersihan, siswa kerap memantau dan sekaligus memberikan imbauan dan edukasi kepada masyarakat terkait kesadaran tidak membuang sampah sembarangan apalagi ke sungai.Dimensi Akhlak Mulia, khususnya Akhlak terhadap Alam, berkembang pesat pada diri siswa setelah menjalani projek profil ini.

2. Projek pengelolaan Tongkol  Jagung untuk ekonomi kreatif

Phonna seorang siswa SMKN 1 Jeunieb yang tinggal di desa sentra penghasil jagung. Di sekolah, guru Phonna merancang projek profil bertopik “Detektif  Jagung“. Phonna mengeksplorasi segala hal tentang dunia jagung, mulai dari memilih bibit , mengOlah lahan, membersihkan Gulma, menanam, memupuk, memelihara, memanen hingga bagaimana jagung mempengaruhi kesejahteraan masyarakat desanya. Sewaktu menyelidiki hal tersebut, Phonna dan teman-teman baru tahu bahwa banyak tongkol jagung yang terbuang percuma. Lalu dengan bimbingan guru, Darmawati dan teman sekelasnya bersama-sama mengembangkan kreasi pemanfaatan limbah tongkol jagung menjadi suatu produk yang dapat menghasilkan nilai ekonomi, dan menghasilkan pundi-pundi rupiah. Melalui projek tersebut, Phonna telah berhasil mengasah dimensi kreatif dan gotong royong.

3. Projek melatih kedisiplinan dan budaya kerja yang baik

Pak Herianto adalah pengurus komite di SMKN 1 Jeunieb tempat anaknya bersekolah. 40% lulusan SMK ini belum diterima bekerja. Dari observasi pada saat praktik, Pak Herianto menemukan, siswa belum memiliki budaya kerja yang baik. Pak Herianto mendukung inisiatif Tim Fasilitator Projek Profil untuk membuat projek profil bertema Kebekerjaan. Dengan bantuan dana dari komite, siswa melakukan kunjungan ke industri dan merefleksikan budaya kerja yang baik di dunia industri. Siswa lalu berdiskusi dan menyepakati budaya kerja yang ingin mereka latih, lalu menerapkannya di waktu praktik. Di akhir projek profil, Pak Herianto lega karena para siswa telah terbiasa bekerja secara profesional baik secara mandiri maupun di dalam tim, cerminan berkembangnya dimensi mandiri dan gotong royong.

Gelar Karya P5 

P5 tidak sekadar meminta anak belajar dan membuat proyek. Namun, ada juga apresiasi berupa gelar karya atau pameran karya P5 sebagai wadah untuk merayakan keberhasilan peserta didik selama pelaksanaan proyek. Lantas, haruskah ada program gelar karya dalam implementasi P5? Secara global memang tidak wajib. Namun, dari segi alur pelaksanaan P5, gelar karya penting sebagai wujud aksi nyata. Gelar karya akan memfasilitasi peserta didik untuk memperlihatkan proyek yang berhasil dibuatnya.  Di sini, masing-masing siswa (individu/kelompok) akan menunjukkan produk atau bakat sesuai tema proyek. Sementara, guru, orangtua, dan audience lainnya menyaksikan pertunjukan sebagai bentuk apresiasi. Ketika produk yang dihasilkan baik, maka orang lain akan percaya dan tertarik. Begitu juga dengan peserta didik, orang yang melihat akan percaya bahwa sekolah tersebut tidak main-main dalam mencetak generasi yang berkualitas.  Dengan begitu, siswa akan merasa usaha kerasnya sangat dihargai. Sehingga, mereka akan semakin giat dalam proyek P5 selanjutnya. 

Gelar karya menjadi kesempatan emas bagi peserta didik untuk mempromosikan diri sendiri. Mereka akan saling adu karya dan bakat yang tentunya menciptakan ketertarikan tersendiri bagi orang yang hadir. Tentu saja, apa yang telah dihasilkan akan mendapat apresiasi dari teman, guru, dan orangtua. Namun, ada juga yang lebih dari itu. Mereka berpeluang untuk menerima penghargaan langsung dari para pelaku usaha. Semoga mencerahkan. 

Penulis adalah Kepala SMK Negeri 1 Jeunieb dan Ketua IGI Daerah Bireuen

Ediror Riski Adisty

Artikel ini telah tayang di Harian Analisa, Rabu 24 Januari 2024 dengan judul yang sama. 


Posting Komentar untuk "Opini: Sudah Tepatkah Program P5 di Sekolah? "